WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Cerita Warga Muara Angke yang Wilayahnya Terancam Tenggelam


JAKARTA, JMI
- Prediksi tenggelamnya Jakarta pada 2050 kembali dibahas oleh berbagai kalangan. Hal ini dipicu oleh berbagai alasan, salah satunya yakni penampakan permukaan air laut yang semakin tinggi setiap tahunnya di kawasan pesisir Jakarta. 

Bahkan, beberapa perkampungan hingga kini masih terus mengalami banjir rob, banjir yang diakibatkan pasang surut air laut, setiap harinya hingga kondisi ini menjadi hal yang lumrah. 

Sebut saja Kampung Empang, Muara Angke, wilayah Jakarta yang secara rutin mendapat 'kunjungan' dari banjir ini. Pada saat air pasang sedang tinggi-tingginya, hampir seluruh bagian kampung bisa terendam air laut hingga sebetis. Kondisi ini diungkapkan oleh Ketua RT 6, Warya. 

"Tiap tahun ini ada penambahan (tinggi air laut). Bahkan kalau di masa lagi tinggi-tingginya, di pinggir jalan utama sana itu sampai sebetis. Ngalir ke sana padahal jauh," jelasnya kepada detikcom, Selasa (20/09/2022).

Ia memperkirakan tingginya bertambah sekitar 50 cm setiap tahunnya. Perhitungan ini ia ambil dari setiap aktivitas pengurukan atau penambahan batuan untuk meningkatkan tinggi daratan di beberapa titik di wilayahnya untuk meminimalisir rendaman air laut.

Meski demikian, beberapa minggu ini intensitas banjir rob di wilayahnya sedang menurun. Berbanding terbalik dengan bulan Agustus lalu di mana banjir mencapai atas lutut dengan intensitas kedatangan air yang tinggi.

Warya yang telah tinggal di sana selama belasan tahun melihat bagaimana perubahan dari muka air laut di wilayahnya itu. Kawasan pinggir pantai yang dulunya empang atau kolam untuk ikan-ikan, kini sudah menjadi dermaga tempat kapal-kapal nelayan istirahat. 

"Dulu di sini bukan rumah, tapi empang. Karena air naik, akhirnya diuruk terus. Mungkin dari 2004 ya. Kedalaman empang begitu dalamnya ya kita urug terus nggak kerasa," kata Tati, salah satu warga RT 6 saat ditemui bersama Warya. 

"Kalau mau dihitung dari sejarahnya di 2004 itu sampai 7 meter ada," tambahnya. 

Semakin ke sini intensitas banjir rob terus meningkat. Warya menjelaskan, yang dulunya banjir hanya bertahan beberapa jam lalu surut kembali, kemudian kedatangannya bertambah jadi beberapa hari, dan kini dalam setiap bulannya hanya ada waktu 3 hari tanpa banjir. 

"Kalau waktu dulu banjir pasang itu dalam satu bulan masih bisa dihitung, paling 3-1 minggu paling lamanya. Tapi mulai saat ini itu terus-terusan, dalam satu bulan bahkan yang nggak banjir paling 3 hari. Jadi kebalikannya, makin sering," jelas Warya. 

Kondisi banjir rob yang paling diwaspadai warga ialah pada fase awal bulan sama bulan purnama. Kata Warya, di sana lah puncak-puncak dari banjir tersebut. 

Meski masyarakat dapat dikatakan telah terbiasa dengan kondisi ini, Warya bersama-sama warga lainnya berupaya untuk mengurangi aliran air banjir ini dengan memanfaatkan limbah kerang hijau secara swadaya. 

"Untuk antisipasi banjir gede, secara swadaya kita uruk. Urugan itu untuk akses jalan orang dulu. Karena kalau banjirnya gede itu biasanya bisa sangat dalam, susah untuk lewatnya," jelasnya. 

Istilah uruk yang dimaksud ialah dengan menumpuk limbah kerang tersebut menjadi bagian dari daratan. Dengan demikian, level permukaan tanah jadi meningkat. 

"Usaha kita kan kebanyakan kerang hijau, nah itu kulitnya kita manfaatkan untuk urugan tanah. Alasan lainnya juga karena kalau beli puing (batu) di depan sana, ongkos angkut ke sininya itu yang jauh lebih mahal dari harga puingnya," Tati menambahkan. 

Pengurukan atau peningkatan level tanah di beberapa titik ini akhirnya membuahkan hasil yang baik, di mana aliran banjir bisa sedikit berkurang. Namun langkah antisipasi tersebut tidak terlalu berpengaruh apabila banjir sedang tinggi-tingginya. 

Tati sendiri, yang tinggal tepat di tepi laut, telah menguruk atau meninggikan lahan rumahnya hingga 1 meter dalam kurun waktu 2 tahun belakangan. Mau tidak mau, baik Tati maupun Warya mengharapkan langkah dari pemerintah sendiri. 

"Sebagaimana kita memang seperti ini, mungkin ada program pemerintah untuk menanggulangi banjir dengan cara pemancangan itu, mungkin itu bisa menjadi solusi," ungkap Warya. 

Salah satunya yaitu menyangkut pembangunan tanggul raksasa yang sempat diwacanakan pemerintah. Namun, hingga kini informasi mengenai rencana pembangunan tersebut belum terdengar kembali. Hal ini dibutuhkan seiring dengan intensitas dan tinggi banjir yang semakin meningkat. 

"Warga yang mengeluhkan memang banyak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah seperti ini kondisinya. Bisa dibilang sudah terbiasa juga hidup di laut. Yang bisa kita lakukan sekarang ya itu, beberapa tindakan swadaya saja seperti urug lahan," kata Warya.

dtk/jmi/red

Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

Berita Terkini

Peringati HUT Ke 27 Kabupaten Tanggamus, Pemkab Tanggamus Laksanakan Upacara Bendera dan Ziarah Kubur di Taman Makam Pahlawan

TANGGAMUS, JMI - Pemkab Tanggamus laksanakan Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-27 bertempat di lapangan Merdeka, Kel...