WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Mencari Ibukota yang Tepat

Ilustrasi : Kepadatan Ibukota
JAKARTA, JMI -- Sejak 2017, wacana pemindahan ibu kota negara Indonesia kian menguat, terlebih makin dekatnya pengumuman kepastian pemindahan ibu kota oleh Presiden Joko Widodo yang rencananya akan dilakukan pada bulan Agustus ini.

Pemerintah juga sudah hampir memastikan pemindahan itu terjadi dan ibu kota akan dipindahkan ke luar Pulau Jawa sesuai dengan yang diutarakan dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).

Apa masalahnya? Mengapa harus pindah? Adalah pertanyaan yang sangat sering diungkapkan terkait dengan masalah tersebut.

Jakarta saat ini makin panas, padat, macet, tercemar polusi, rawan banjir, rawan kejahatan, dan penyakit sosial lainnya yang sering terungkap dalam setiap diskusi soal kota ini dengan segala ingar-bingar sebagai ibu kota negara.

Kepadatan tak terkendali, dianggap menjadi salah satu penyebab berbagai masalah di Jakarta. Data sensus penduduk terakhir yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) BPS pada tahun 2015, disebutkan jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,2 juta jiwa dan memproyeksikan jumlah penduduk Jakarta mencapai puncaknya pada tahun 2040 dengan jumlah 11,28 juta orang.

Artinya, secara hitung-hitungan kasar, pada tahun 2040 tersebut, untuk menutupi lahan Jakarta seluas 661,52 kilometer, dibutuhkan orang berjejer tiap 5 meter.

Jangankan menunggu 20 tahun lagi, efek kepadatan penduduk di Jakarta disebut sudah terasa saat ini, mulai dari tingkat kemacetan yang beriringan dengan tingkat polusi, banjir tahunan, hingga tingkat kejahatan yang tinggi.

Dengan berjejalnya penduduk yang diikuti lonjakan jumlah kendaraan bermotor, tidak mampu dikejar oleh perkembangan jalan raya hingga menyebabkan masalah kemacetan parah.

Walau TomTom Traffic Index mencatat kemacetan Jakarta turun delapan persen selama 2018, tetap ada penambahan waktu tempuh untuk 30 menit perjalanan, yakni 19 menit pada pagi hari dan 26 menit pada malam hari. Pemerintah (pusat dan Pemprov DKI) menyebut akibat kemacetan, timbul kerugian sebanyak Rp65 triliun hingga Rp100 triliun setiap tahun akibat BBM dan waktu yang terbuang.

Masalah kemacetan tersebut juga berkelindan dengan kualitas udara Jakarta yang dicatat dalam laman Airvisual, indeks kualitas udara (Air Quality Index/AQI) Jakarta selalu berada di urutan lima besar kota paling berpolusi di dunia, bahkan selalu berada di nomor satu dalam beberapa hari terakhir.

Kepadatan penduduk yang tinggi, akhirnya menyebabkan penyimpangan peruntukan lahan yang akhirnya meniadakan kawasan hijau menyebabkan selain tingkat stres masyarakat Jakarta yang tinggi, juga mengakibatkan kemiskinan dan tingkat kriminalitas yang tinggi.

Polda Metro Jaya mengungkap jumlah kasus kriminal di wilayah Metropolitan Jakarta mencapai 32.301 kasus, termasuk salah satu yang tertinggi di Indonesia. Bahkan, pada tahun 2017, BPS sempat menempatkan Jakarta sebagai kota yang tingkat kriminalitasnya tertinggi di Indonesia dengan 34.767 angka kejahatan yang hanya satu angka di bawah Sumatera Utara dengan 39.867 angka kejahatan.

Kepadatan yang diiringi pembangunan tak terkendali di wilayah hilir, penyimpangan peruntukan lahan kota dan penurunan tanah akibat eksploitasi air oleh industri, menyebabkan turunnya kapasitas penyaluran air sistem sungai yang menyebabkan terjadinya banjir besar di Jakarta.

Tata ruang kota yang sering berubah-ubah, menyebabkan polusi udara dan banjir sulit dikendalikan. Walaupun pemerintah telah menetapkan wilayah selatan Jakarta sebagai daerah resapan air. Namun, ketentuan tersebut sering dilanggar dengan terus dibangunnya perumahan serta pusat bisnis baru. Beberapa wilayah yang diperuntukkan untuk permukiman, banyak yang beralih fungsi menjadi tempat komersial. 


SUMBER : ANTARA

Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar