WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Demokrasi 'Tumbal', Ketika Aspirasi Rakyat Hanya Didengar Setelah Ada Korban

Foto Ilustrasi demo oleh AI

JAKARTA, JMI - Telah menjadi fenomena yang umum bahwa aksi massa atau demonstrasi seringkali berakhir dengan kericuhan, tindakan anarkhis, dan penjarahan. 

Hal ini sering kali disebabkan oleh penyusup yang memiliki kepentingan lain dan memanfaatkan situasi untuk mencapai tujuan mereka, sehingga menunggangi para demonstran yang sebenarnya memiliki tujuan yang sah. Seperti pepatah yang mengatakan, 

"jika menanam padi pasti rumput liar juga ikut tumbuh," sehingga sulit untuk membedakan antara demonstran yang memiliki tujuan murni dan mereka yang memiliki kepentingan lain. 

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan berbagai aksi demonstrasi yang berakhir dengan ricuh, rusuh, dan penjarahan. Demonstrasi yang seharusnya menjadi wadah bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada pemerintah, malah berakhir dengan kerusakan dan korban jiwa. Pertanyaannya adalah, mengapa harus ada korban untuk didengar?

Dalam negara demokrasi, demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian aspirasi rakyat yang sah dan dilindungi oleh undang-undang. 

Namun, masalah muncul ketika peraturan yang mengatur demonstrasi cenderung membatasi atau "mengkebiri" kegiatan menyampaikan aspirasi tersebut, sehingga membuat rakyat merasa tidak dapat menyampaikan pendapatnya secara bebas dan efektif.



Ilustrasi Demonstran bentrok dengan pihak kepolisian di Bangkok, Thailand, Jumat 16 Oktober 2020 (Reuters, Soe Zeya Tun)

Menurut data dari Kompolnas, pada tahun 2022 saja, terdapat 1.234 kasus demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan dan kerusuhan. Jumlah ini meningkat
20% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Selain itu, menurut laporan dari LBH Jakarta, pada tahun 2023, terdapat 567 kasus penangkapan demonstran yang dianggap melakukan tindakan pidana selama demonstrasi.

Demonstrasi yang terjadi pada 26-31 Agustus 2025 menjadi contoh nyata bagaimana aksi massa dapat berubah menjadi ricuh, rusuh, anarkhis, dan penjarahan. 

Insiden tragis yang menewaskan seorang driver ojek online akibat tertabrak dan terlindas mobil Rantis Brimob yang sedang menghalau massa menjadi pemicu utama meningkatnya eskalasi kekerasan. Korban jiwa ini menjadi "minyak penyulut" yang memperbesar aksi massa dan memperpanjang gelombang demonstrasi. 

Mungkin saja jika tidak ada korban driver ojek online, akan ada korban lain yang menjadi pemicu meningkatnya aksi demonstrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kerusuhan dan kekerasan dapat dengan mudah dipicu oleh insiden yang tidak terduga.

Pemerintah tampaknya hanya bereaksi terhadap demonstrasi ketika situasi sudah memanas dan berubah menjadi rusuh. Setelah itu, pihak-pihak yang sebelumnya memicu kerusuhan dapat dengan mudah meminta maaf dan seolah-olah tidak bertanggung jawab atas kejadian tersebut. 

 

Presiden Prabowo Subianto bersama para ketua umum partai politik sepakat menghapus tunjangan DPR dan moratorium kunjungan kerja luar negeri. Apa alasan di baliknya? (©Merdeka.com)

Sementara itu, pemerintah dengan cepat mengabulkan tuntutan rakyat seolah-olah itu adalah keajaiban. Pemerintah juga kerap menghimbau masyarakat untuk tenang dengan slogan "percayakan kepada pemerintah", yang terkesan lucu dan konyol mengingat demonstrasi itu sendiri seringkali muncul karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 

Ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan keseriusan pemerintah dalam menangani aspirasi rakyat sebelum situasi menjadi kritis.

Pemerintah seringkali menunjukkan respons yang lambat dan reaktif terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Tindakan mereka sering kali baru diambil setelah terjadi kerusuhan, korban jiwa, atau kerusakan infrastruktur yang signifikan. 

Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa pemerintah hanya bereaksi setelah ada dampak besar dan korban, bukan sebelum situasi menjadi kritis? Mengapa harus ada pengorbanan nyawa dan kerusakan sebelum pemerintah mau mendengarkan aspirasi rakyat? Ini menimbulkan keraguan tentang keseriusan pemerintah dalam menangani masalah sebelum mencapai titik krisis.

Sangat didambakan jika penyampaian aspirasi rakyat dapat dilakukan melalui dialog yang konstruktif dan bermusyawarah dalam koridor demokrasi yang baik. 

Namun, realitasnya sering berbeda. Penguasa cenderung meremehkan dan memandang sebelah mata aspirasi yang disampaikan secara damai. Juru bicara pemerintah yang mahir dalam berdiskusi dan berdialog, lebih sering menggunakan "silat lidah" untuk menutupi kesalahan dan kebobrokan mereka.

Jika para demonstran yang menyuarakan aspirasi rakyat dibawa ke meja dialog di DPR, hasilnya mungkin sudah dapat ditebak. Dengan kekuasaan dan kemampuan bersilat lidah, anggota DPR mungkin akan "membantai" perwakilan demonstran dengan berbagai dalih dan cercaan, seperti yang sering kita lihat di media massa dan media sosial. 

Sikap mengusir menteri, pejabat, apalagi demonstran, seolah menunjukkan bahwa mereka lebih peduli dengan mempertahankan kekuasaan daripada mendengarkan suara rakyat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pemerintah masih belum serius dalam menangani aspirasi rakyat. Pemerintah cenderung meremehkan dan memandang sebelah mata aspirasi yang disampaikan secara baik-baik. Sebaliknya, pemerintah lebih cenderung bereaksi setelah terjadi kerusuhan dan korban jiwa.

Dalam demokrasi yang baik, aspirasi rakyat seharusnya didengar dan ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Namun, yang terjadi di Indonesia adalah pemerintah cenderung "meremehkan" aspirasi rakyat dan lebih suka berdialog dengan para demonstran hanya setelah terjadi kerusuhan.

Melihat fenomena ini, kita perlu bertanya, apakah Indonesia masih menerapkan demokrasi yang baik? Ataukah kita sedang mengalami "demokrasi tumbal" di mana harus ada korban untuk didengar? Jika iya, maka sudah saatnya kita melakukan refleksi dan perubahan dalam sistem demokrasi kita.

Melihat kondisi ini, sepertinya Indonesia masih terjebak dalam sistem "Demokrasi Tumbal" di mana harus ada pengorbanan, baik nyawa maupun kerusakan, agar aspirasi rakyat didengar oleh penguasa. 

Ini adalah tragedi tragis yang menunjukkan keserakahan para penguasa, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang seolah-olah menganggap diri mereka sebagai pemilik negara. 

 

Ilustrasi kebijakan yang ngawur dan semena-mena (foto dibuat AI)

Mereka membuat kebijakan seenaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat yang telah memberi mandat untuk mengatur dan mengelola negara. 

Seharusnya, mereka ingat bahwa kekuasaan yang mereka pegang adalah amanah dari rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Demokrasi tumbal adalah fenomena di mana pemerintah hanya akan mendengar aspirasi rakyat jika ada korban jiwa. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemerintah masih belum serius dalam menangani aspirasi rakyat dan melakukan dialog yang konstruktif dengan masyarakat. 

Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, melakukan dialog konstruktif, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan meningkatkan kapasitas pemerintah. 

Dengan demikian, kita dapat menciptakan demokrasi yang lebih baik dan lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Menurut Dr. Arbi Sanit, seorang pakar demokrasi, "Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang mampu mendengar dan menanggapi aspirasi rakyat secara serius dan konstruktif." 

Namun, yang terjadi di Indonesia adalah pemerintah cenderung meremehkan aspirasi rakyat dan lebih suka berdialog dengan para demonstran hanya setelah terjadi kerusuhan.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menangani aspirasi rakyat dan melakukan dialog yang konstruktif dengan masyarakat. 

Pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, kita dapat menciptakan demokrasi yang lebih baik dan lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat.

 

Pewarta: Bayu JMI

  

Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar