WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Dilema Demokrasi dan Pemberantasan Terorisme...

Polisi memeriksa puing-puing di lokasi setelah ledakan menghantam kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari 2016. Serangkaian ledakan menewaskan sejumlah orang, terjadi baku tembak antara polisi dan beberapa orang yang diduga pelaku.

Jakarta, JMI - Pascaserangan teror di kawasan Sarinah, Thamrin, pada 14 Januari 2016, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme jadi sorotan.

UU itu dianggap lemah dan gagal menciptakan kondisi negara yang aman dari aksi terorisme. Pilihan untuk merevisi UU tersebut kemudian diambil pemerintah. Revisi lalu dibahas pemerintah bersama DPR.

Seiring pembahasan UU, peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, kini mulai muncul dilema antara demokrasi dengan pemberantasan teroris.

Di satu sisi, revisi UU Terorisme dilakukan agar pemerintah dan aparat penegak hukum tidak sekadar menjadi pemadam kebakaran semata, seperti selama ini. Aparat diharapkan efektif menangkal terorisme.

"Terorisme memang extraordinary crime yang artinya dapat dipahami bahwa pencegahan dan penindakan atas kejahatan membutuhkan payung hukum yang kuat dan luar biasa," ujar Khairul saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (17/3/2016).

Namun di sisi lain, sebenarnya merumuskan formula perundang-undangan yang kuat dan luar biasa tidaklah mudah. Misalnya, soal penangkapan sekaligus penahanan, apalagi yang belum cukup bukti.

"Kesulitan ini berkaitan dengan menjaga titik keseimbangan dengan demokrasi," ujar dia.

Di satu pihak, masyarakat memimpikan ihwal penegakan hukum yang demokratis, profesional, transparan dan akuntabel.

Namun di sisi lain, karakter operasi pemberantasan terorisme bersifat rahasia dan tertutup di mana nilai-nilai demokrasi abstain dari situ.

Khairul mencontohkan, yang paling ekstrem, seandainya tiba-tiba pemerintah mendeteksi ada ancaman terorisme.

Pemerintah lalu menempatkan aparat keamanan bersenjata lengkap di setiap pojok rumah warga untuk berjaga-jaga.

"Masyarakat tentu akan keberatan karena pasti kenyamanan mereka beraktivitas akan terganggu kan?" ujar Khairul.

Padahal, kebijakan itu merupakan naluri dari pemerintah. Sementara, warga sipil memiliki naluri untuk mewacanakan soal kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan, pemberangusan kebebasan sipil hingga potensi munculnya represif rezim otoritarian.

"Dilema bukan?" ujar Khairul.

(kps/red)
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

Berita Terkini

Prof H Amran Suadi Optimis Kaspudin Nor Lolos Menjadi Dewas KPK

JAKARTA, JMI – Sebanyak 146 calon Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dinyatakan lolos pada seleksi admi...