WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Petugas Lapas Dipaksa Mengaku Anak Buah Freddy Budiman

RABU, 21 SEPTEMBER 2016 | 11:12 WIB
Ilustrasi
Jakarta, JURNALMEDIAIndonesia.com - Noviyanti Perdana Putri masih ingat betul cerita ayahnya sebelum mendekam di balik jeruji penjara. Ayah Novi, Imran Tua (56) yang sehari-hari menjaga Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sebagai staf, justru kini dibui karena dugaan penyelundupan narkoba dan terlibat jaringan Freddy Budiman.

Menurut Novi, kasus Imran merupakan rekayasa aparat penegak hukum dalam kejahatan narkotika. Pasalnya, banyak kejanggalan terjadi selama proses hukum.

Novi bercerita, kasus ini bermula pada 15 April 2015. Ketika itu, Imran dijemput oleh petugas satuan Direktorat Tindak Pidana Narkoba IV Bareskrim Polri.

"Saat itu pukul 15.30 WIB, bapak ketika itu dibawa ke rumah makan padang dan dipaksa mengakui sebagai anak buah Freddy Budiman. Padahal tidak kenal sama sekali," ujar Novi ketika audiensi antara Kontras dan Ombudsman RI di Jakarta, Selasa (20/9/2016).

Setelah dari rumah makan, lanjut Novi, Imran langsung dibawa menuju Markas Besar Polri guna dimintai keterangan lebih lanjut. Imran yang baru bekerja selama lima bulan di Lapas Cipinang itu terus dicecar pertanyaan terkait Freddy meski berulang kali menyatakan tidak mengenalnya.

"Freddy Budiman ada di sana saat itu, dipertemukan dengan bapak. Freddy pun saat ditanyai mengaku tidak mengenal bapak," ucap Novi.

Kejanggalan tak berhenti sampai di situ. Ketika sidang perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Timur digelar, kejanggalan juga terjadi. Menurut Novi, saksi dari kepolisian dalam persidangan bukanlah yang menangkap Imran, melainkan penyidik dalam acara pemeriksaan Freddy.

"Selain itu, barang bukti bapak yang dihadirkan hanya sebuah handphone dan batu akik, bukan narkoba," ujar Novi.

Meski banyak terjadi kejanggalan, vonis terhadap Imran tetap dilakukan. Imran dikurung delapan tahun melalui jeratan pasal 112 dan 113 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

38 kasus

Cerita Novi hanya satu dari 38 kasus yang diadukan kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Sejak 4 Agustus 2016, Kontras membentuk Posko Darurat Bongkar Aparat di 11 provinsi guna menerima pengaduan keterlibatan aparat dalam kejahatan narkotika.

Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras Putri Kanesia mengatakan, 38 kasus ini mengerucut pada tiga potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dalam kasus narkotika.

"Potensi itu terkait pemberian status whistleblower dan justice collaborator (JC), rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika, serta operasi pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan (control delivery)," ujar Putri.

Putri menjelaskan, dalam kasus pemberian status whistleblower dan JC, Kontras menemukan banyak terjadi pemerasan oleh aparat kepada terpidana narkotika.

Terpidana diiming-imingi oleh aparat untuk menjadi whistleblower dan JC dengan syarat membayar sejumlah uang pada saat penyidikan. Padahal, penetapan status ini hanya bisa ditentukan oleh hakim dalam pengadilan.

"JC ini ruang diskresinya terlalu besar. Menjadi ruang pemerasan oleh penyidik. Ini di level polisi, ditawari mau jadi JC tapi bayar. Pelaku gak tahu dan bayar, ternyata jcnya diproses juga enggak," kata Putri.

Dalam kasus pemberian rehabilitasi, lanjut Putri, penegak hukum berperan besar dalam menentukan bentuk pemasyarakatan ini terhadap pecandu dan penyalahguna narkotika. Aparat dapat memutuskan pemberian rehabilitasi dengan menghadirkan tim asesmen.

Sayangnya, keputusan menghadirkan tim asesmen masih bersifat opsional tergantung diskresi penyidik. Ini menjadi peluang besar bagi penegak hukum untuk melakukan pemerasan.
KOMPAS
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

Berita Terkini

Prof H Amran Suadi Optimis Kaspudin Nor Lolos Menjadi Dewas KPK

JAKARTA, JMI – Sebanyak 146 calon Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dinyatakan lolos pada seleksi admi...