DEMAK, JMI– Maraknya aksi penarikan sepeda motor atau kendaraan roda empat (mobil) secara paksa oleh Debt Colektor atau sering di sebut DC membuat masyarakat resah. Bahkan sejumlah kasus di beberapa tempat, malah menjadi persoalan baru. Untuk itu salah satu pengacara dari MBP Law Sidorejo Budi Purnomo, SH angkat bicara.
Menurutnya, sebagaimana putusan Sidang Pengucapan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) hanya memperjelas tata cara penarikan barang kredit.
“Eksekusi itu tetap boleh meski ada tapinya, yaitu dengan adanya aturan yang dipersoalkan sehingga harus berproses di MK yakni Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4). MK menyatakan tata cara penarikan barang kredit bermasalah oleh leasing tidak ada selama ini. Atas hal itu kerap muncul pemaksaan atau kekerasan dari debt collector atau pihak yang mengaku mendapat kuasa dari leasing untuk menagih pembayaran,” terangnya, Minggu (21/2/2021).
Budi juga mengatakan, jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur), melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri dimana kedudukan debitur tinggal.
“Jadi untuk menarik kendaraan telat bayar oleh pihak eksternal tetap bisa di lakukan tapi dengan syarat, atau jika leasing tetap bisa melakukan eksekusi sendiri dengan memberi mandat kepada penagih hutang jika penunggak benar-benar dinyatakan gagal bayar atau wanprestasi. Selain itu bisa juga dilakukan jika nasabah penunggak terbukti cedera janji.
“Bila dua poin tersebut terpenuhi, tidak mungkin penunggak menolak kendaraannya ditarik, oleh sebab itu eksekusi bisa dilakukan secara sendiri, tanpa pengadilan, asalkan dari debitur menyerahkan secara sukarela,” jelasnya.
Masih menurut Budi, jika penunggak tidak mengakui cedera janji dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka leasing tidak boleh melakukan eksekusi sendiri. Nah untuk menyelesaikan hal tersebut, leasing harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri dimana kedudukan debitur tinggal sehingga hak konstitusional (penunggak) debitur dan kreditur (leasing) terlindungi secara seimbang.
“Ancaman hukuman yang bisa dijatuhkan kepada leasing dan debt collector yang melanggar atau tidak sesuai prosedur dalam penarikan kendaraan, maka bisa dikenakan sanksi dengan pasal 368 KUHP tentang perampasan, yakni barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana, jadi pertimbangkanlah untuk belajar dalam penanganan debitur nakal,” pungkasnya.
Heru Gunawan/JMI/RED
0 komentar :
Posting Komentar