JAKARTA, JMI -- Fenomena Citayam Fashion Week rasanya belum berumur satu bulan, tapi kontroversinya sudah lahir dari berbagai aspek. Mulai dari munculnya para kemayu di 'lantai peragaan', hingga tiba-tiba ada pihak berduit yang mendaftarkan kalimat 'Citayam Fashion Week' sebagai hak kekayaan intelektualnya.
Soal
aksi gercep (gerak cepat) pendaftaran hak kekayaan intelektual ini, saya jadi
teringat momen ketika saya masih aktif di dunia basis lokal komunitas pecinta
klub sepak bola Liga Primer Inggris, Manchester United.
Beberapa
tahun lalu, saat tayangan pertandingan-pertandingan sepak bola eropa masih bisa
dinikmati dengan antena biasa dan parabola, saya hampir setiap akhir pekan
menjajal tempat komunitas penyuka MU mengadakan nonton bareng, yang tenar disingkat
Nobar.
Bahagia
rasanya, hiburan rakyat murah meriah di kota semegapolitan Jakarta. Modal Rp 15
ribu, sudah bisa nonton MU bersama kawan-kawan di layar besar, mendapatkan es
teh manis, stiker, dan kesempatan memenangkan door prize. Ya paling biaya tambahannya
adalah selembar uang Rp 2.000 atau Rp 5.000 untuk ongkos parkir.
Komunitas
serupa juga ada di para penyuka klub-klub lain. Bila kedua tim dengan basis
suporter besar lokal bertemu, tak jarang nobar digelar di satu tempat yang
sama. Tentu venue nobar jauh lebih besar dan rasa stadion asli benar-benar
merasuk. Flare, teriakan yel-yel, hingga adu chant terdengar
kencang membahana.
Gor
C-tra Arena di Bandung, Jawa Barat kerap menjadi venue ketika MU memainkan
laga big match. Sekalipun laga berlangsung dini hari, tak membuat
antuasiasme penggila MU menghadiri nobar surut. Bahkan, tiap pekannya, makin
ramai.
Hal
seperti ini tak cuma terjadi di kota-kota besar. Pada 2014 silam, saya yang
sedang ditugaskan oleh kantor ke Aceh, tetap memikirkan pertandingan MU dalam
setiap langkah. Berlebihan? Hehe begitulah, MU di era saat itu mulai
busuk-busuknya setahun pasca ditinggal Sir Alex Ferguson pensiun. Sehingga,
kadang selalu gatal untuk segera menyambut pertandingan baru. Siapa tau, Iblis
Merah tiba-tiba jadi hebat.
Kala
itu, saya tak merasa bingung harus menonton MU di mana. Meski siaran antena
diacak, saya hanya perlu langsung mencari lokasi nobar di Aceh. Dengan
kecanggihan internet dan kehebatan media sosial saat itu, singkat cerita saya
sampai ke suatu kafe di Banda Aceh, dan nobar di sana. Riuh suasananya, meski
tak segempita di ibu kota.
Selesai
laga, hujan deras turun. Sudah tengah malam. Tak ada angkutan umum. Dengan baik
hati, komunitas tersebut mengantarkan saya sampai ke penginapan tempat saya
bertandang di Aceh kala itu.
Bertahun-tahun
kegiatan nobar menjadi hal yang paling dinantikan setiap akhir pekannya.
Namun,
semua itu perlahan mulai kikis. Saya sempat bingung mengapa tiba-tiba sulit
sekali melakukan aktivitas yang kerap saya lakukan itu. Menurut kabar, saat itu
pelaksanaan nobar terbentur pengurusan izin yang berkaitan dengan hak siar.
Bertahun-tahun, tak ada lagi semarak nobar.
Belakangan
tahun lalu, saya menyaksikan salah satu vlog dari komika nasional, Pandji
Pragiwaksono. Menurut dia, saat nobar sedang menjamur dan digandrungi rakyat
kelas bawah pecinta sepak bola, entah gagasan dari mana, ada suatu pihak yang
mematenkan kata 'Nobar' dan 'nonton bareng' ke Kemenkumham, dan diterima. Sejak
saat itu gelombang nobar mulai berkurang.
Saya
mencoba mengecek hal tersebut, tapi sejauh ini memang nobar sepak bola eropa
yang hak siarnya dipegang sebuah perusahaan, meski hanya di pos ronda, harus
memiliki izin. Sejak saat itu saya jadi memahami alasan di balik tak beraninya
para komunitas aktif berkreasi menggelar nobar kembali seperti beberapa tahun
lalu.
Kini,
hal sama mulai menyerempet Citayam Fashion Week. Terlepas dari beragam
kontroversi yang ada atas eksistensinya, tetap saja, sisi kreatif dari
anak-anak pinggiran Jakarta itu layak diapresiasi.
Namun
bila sampai Citayan Fashion Week benar-benar menjadi jenama milik suatu pihak,
semoga di dalamnya ada itikad baik. Bukan justru, ingin menguasai.
Adapun
itikad baik yang mungkin hendak dipraktikkan oleh Baim
Wong dan Paula, selaku pihak yang mendaftarkan hak kekayaan
intelektual ini, adalah, melindungi komunitas tersebut agar tetap bebas
berekspresi. Andai misal sebuah perusahaan mode super komersil yang
mengambilnya, bisa saja malah lebih runyam.
Di titik ini, saya
mencoba berpikiran positif kepada pasangan selebritas tersebut. Meski bila
kemudian dalam realitanya ternyata ini semua cuma soal cuan yang
kemudian membuat para muda-mudi urban ini tersingkir, ya sudah, terima saja dan
ikuti aturan main yang ada agar tak ada undang-undang yang dilanggar.
Sumber : Republika.
0 komentar :
Posting Komentar