![]() |
| Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. (Setpres) |
Jakarta, JMI – Pemerintah resmi menetapkan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di Indonesia dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2035. Proyek strategis ini dijadwalkan mulai dibangun pada 2027 dan ditargetkan mulai beroperasi pada 2032, sebagaimana diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, Senin (26/5).
Dalam RUPTL yang baru saja diluncurkan, pembangkit nuklir ditargetkan menyumbang 500 megawatt (MW) dalam satu dekade ke depan, sebagai bagian dari 42,6 gigawatt (GW) energi baru terbarukan (EBT) yang akan dikembangkan. Dua wilayah yang diprioritaskan untuk pembangunan PLTN adalah Sumatera dan Kalimantan, masing-masing dengan kapasitas 250 MW.
"Kita mulai dulu dengan skala kecil. Pembangunannya diperkirakan dimulai 2027, dan targetnya pada 2032 sudah bisa beroperasi," kata Bahlil.
Menurutnya, pilihan lokasi tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan kajian teknis dan ilmiah yang dilakukan sebelumnya, kedua wilayah dinilai memiliki potensi dan kesiapan lingkungan yang cukup baik untuk pembangkit nuklir.
"Sudah terlalu banyak kajian. Jadi kalau ditanya ada kajian atau tidak, ya, kelebihan kajian malah," ujarnya berseloroh.
RUPTL Masih Beri Ruang Besar bagi Energi Fosil
Meski memasukkan PLTN sebagai bagian dari strategi diversifikasi energi, pemerintah tetap menyertakan porsi signifikan untuk pembangkit berbasis fosil. Dalam proyeksi 2025–2034, sebanyak 16,6 GW dari total 59,2 GW penambahan kapasitas pembangkit akan berasal dari gas dan batu bara.
Hal inilah yang kemudian menuai kritik dari berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, menyayangkan masih dominannya energi fosil dalam RUPTL terbaru. Ia menilai hal tersebut bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo yang sebelumnya menyatakan niat menghentikan pembangkit fosil pada 2040 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil.
"Alih-alih mempercepat transisi energi, RUPTL ini justru seperti langkah mundur. Ini menciptakan ketidakpastian, bukan hanya bagi publik, tapi juga bagi pelaku industri dan lembaga keuangan yang mulai beralih ke energi bersih," ujar Tata dalam pernyataan tertulisnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti penambahan pembangkit batu bara sebesar 6,3 GW dan gas sebesar 10,3 GW, yang dinilai bertentangan dengan arah transisi global menuju energi rendah emisi.
Risiko Jangka Panjang dari Ketergantungan Fosil
Kritik serupa datang dari Policy Strategist di CERAH, Sartika Nur Shalati. Ia menilai pembangunan pembangkit listrik berbasis gas, meskipun terlihat sebagai transisi “lebih bersih”, tetap menyisakan masalah besar. Investasi masif dalam infrastruktur gas seperti pipa dan terminal LNG berisiko menjebak sistem energi nasional pada model lama yang berkarbon tinggi.
"Gas bukan energi masa depan. Ketika semua infrastruktur sudah terbangun dan investasi sudah tertanam, akan sangat sulit menggesernya. Ini akan jadi beban keuangan dan lingkungan yang panjang," tegas Sartika.
Ia juga menyoroti pertumbuhan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang diam-diam terus berkembang melalui skema captive power—pembangkit milik sendiri oleh industri, di luar jaringan PLN.
Dampak terhadap Investasi Energi Bersih
Dari sudut pandang ekonomi, RUPTL kali ini juga dinilai melemahkan kepercayaan investor terhadap komitmen Indonesia pada transisi energi. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai dokumen perencanaan tersebut lebih mengakomodasi industri batu bara dan gas dibanding mendorong pertumbuhan energi terbarukan.
"Banyak investor sudah menyusun strategi untuk pengembangan energi bersih, tapi pemerintah justru masih bergantung pada batu bara dan gas. Ini menurunkan daya saing kita di sektor energi masa depan," ujar Bhima.
Menurutnya, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten akan menciptakan kebingungan di pasar dan memperlambat pengembangan industri seperti panel surya, baterai, hingga kendaraan listrik yang sangat potensial mendorong pertumbuhan ekonomi.
Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja Masif
Meski menuai kritik, pemerintah mengklaim RUPTL 2025–2034 akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Total investasi yang dibutuhkan untuk menambah kapasitas pembangkit hingga 59,2 GW dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan mencapai Rp2.967,4 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp1.566,1 triliun akan berasal dari swasta melalui skema Independent Power Producer (IPP), sedangkan PLN mengelola Rp567,6 triliun.
Pemerintah juga memperkirakan proyek-proyek ini akan menyerap sekitar 1,7 juta tenaga kerja, mulai dari sektor manufaktur, konstruksi, hingga operasi dan pemeliharaan jaringan listrik nasional.
Antara Ambisi dan Realita Energi Bersih
Dengan PLTN mulai dilirik, namun batu bara dan gas masih diberi ruang besar, RUPTL terbaru mencerminkan kompleksitas arah kebijakan energi Indonesia. Di satu sisi, ada ambisi besar untuk membangun sistem energi bersih dan modern. Di sisi lain, ketergantungan pada sumber energi konvensional tampaknya belum mudah dilepaskan.
Sumber: CNN Indonesia
Editor: Kurnia Sapri


0 komentar :
Posting Komentar