![]() |
| Stasiun Lambuang Kota Bukittinggi sebagai pusat kuliner terpadu terbesar di Sumatera Barat yang diresmikan Menteri BUMN di 2024 kini segera ditutup karena dianggap merugi. |
BUKITTINGGI, Jurnal Media Indonesia – Proyek ambisius Pemerintah Kota Bukittinggi, Stasiun Lambuang, yang sejak awal digagas sebagai pusat wisata kuliner ikonik di Sumatera Barat, resmi dihentikan. Setelah beroperasi selama kurang lebih tiga tahun, proyek tersebut ditutup secara permanen dan lahan dikembalikan kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemilik lahan.
Keputusan ini diambil setelah evaluasi menyeluruh menunjukkan bahwa Stasiun Lambuang gagal memenuhi harapan sebagai penggerak roda ekonomi lokal. Meski menghabiskan total anggaran sekitar Rp 24,5 miliar, termasuk biaya pembangunan infrastruktur dan sewa lahan, pendapatan yang dihasilkan sangat kecil. Hanya Rp 2,5 juta yang berhasil masuk ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD), seluruhnya berasal dari retribusi pedagang.
Investasi Besar, Hasil Sangat Minim
Diresmikan pada Maret 2024 oleh Menteri BUMN Erick Thohir bersama anggota DPR RI Andre Rosiade, Stasiun Lambuang sempat mencuri perhatian sebagai bagian dari strategi besar untuk menjadikan Bukittinggi sebagai kota wisata kuliner unggulan. Namun, realitas di lapangan jauh dari ekspektasi.
Ketua DPRD Bukittinggi, Syaiful Efendi, menyebut bahwa proyek ini sejak awal menyewa lahan milik PT KAI tanpa mampu memberikan nilai tambah ekonomi yang berarti. "Sejak Pemkot Bukittinggi pinjam lahan dari PT KAI, Stasiun Lambuang hanya menghasilkan PAD Rp 2,5 juta dalam tiga tahun," ujarnya, Jumat (30/5/2025).
Padahal, sewa lahan kepada PT KAI saja mencapai Rp 2,3 miliar per tahun. Angka ini tidak sebanding dengan perputaran uang yang terjadi di area Stasiun Lambuang. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Pj Sekretaris Daerah Kota Bukittinggi, Al Amin, yang mengonfirmasi bahwa tidak ada perpanjangan kontrak karena alasan efisiensi. "Keberadaannya belum mampu meningkatkan perekonomian masyarakat," kata Al Amin.
Ditutup Demi Efisiensi dan Keamanan
Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias, memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa lahan sebagai bagian dari langkah efisiensi anggaran daerah. Keputusan ini mendapat dukungan penuh dari DPRD Bukittinggi.
Salah satu alasan lain di balik penutupan adalah kondisi Stasiun Lambuang yang semakin sepi dan mulai menimbulkan kekhawatiran akan potensi tindak kriminal jika dibiarkan terbengkalai. "Daripada nantinya timbul masalah baru seperti tindakan kriminal, lebih baik dikembalikan ke PT KAI," ujar Al Amin.
Dari Harapan Menjadi Kekecewaan
Awalnya, Stasiun Lambuang digadang-gadang menjadi simbol baru kuliner dan budaya Bukittinggi, memadukan elemen wisata dengan kearifan lokal Minangkabau. Dengan anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp 17 miliar, Pemkot berharap pusat kuliner ini bisa menjadi daya tarik utama dan mendongkrak ekonomi para pelaku UMKM setempat.
Namun, berbagai kendala seperti kurangnya minat pengunjung, pengelolaan yang tidak maksimal, dan tingginya beban operasional membuat proyek ini tidak berumur panjang. Ketimpangan antara biaya besar dan dampak ekonomi yang minim menjadikan Stasiun Lambuang sebagai salah satu contoh proyek publik yang tidak tepat sasaran.
Kini, dengan pengembalian lahan ke PT KAI, proyek Stasiun Lambuang tinggal kenangan dan sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi perencanaan pembangunan ke depan.
Catatan Redaksi:
Penutupan Stasiun Lambuang memunculkan pertanyaan penting tentang bagaimana pemerintah daerah merancang proyek dengan anggaran besar. Keterlibatan publik, perencanaan yang matang, serta evaluasi dampak ekonomi dan sosial seharusnya menjadi fondasi sebelum proyek diluncurkan. Bukittinggi kini harus bergerak maju dengan strategi yang lebih berorientasi pada manfaat nyata bagi masyarakat.
Sumber: Kompas.com
Editor: Kurnia Sapri

0 komentar :
Posting Komentar