
KPK
menahan dua orang tersangka kasus proyek fiktif di salah satu perusahaan
konstruksi milik BUMN. Penahanan dilakukan mulai hari ini hingga 20 hari ke
depan. (Kurniawan F/detikcom)
Jakarta, JMI -- KPK menahan dua orang tersangka kasus proyek fiktif di salah satu perusahaan
konstruksi milik BUMN. Penahanan dilakukan mulai hari ini hingga 20 hari ke
depan.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menjelaskan, kedua
tersangka yang ditahan yakni Kepala Divisi (Kadiv) Mardiyant Engineering,
Procurement, and Construction (EPC) bernama Didik Mardiyanto (DM) dan Senior
Nasutio Manager, Head of Finance dan Human Capital Department Divisi EPC
bernama Herry Nurdy Nasution (HNN).
"Para Tersangka ditahan untuk 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 25
November sampai dengan 14 Desember 2025, di Rutan Cabang Gedung Merah Putih
KPK," kata Asep dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta
Selatan, Selasa (25/11/2025).
Asep menerangkan, selama periode tahun 2022-2023, Divisi EPC perusahaan pelat
merah tersebut memiliki beberapa proyek pekerjaan, baik yang dikerjakan sendiri
ataupun yang bersifat konsorsium atau joint operation. Dia mengungkapkan pada
Juni 2022, Didik memerintahkan Herry menyediakan dana sebesar Rp 25 miliar yang
diklaim untuk keperluan Proyek Cisem (Cirebon-Semarang) dari tender yang
dimenangkan oleh Divisi EPC.
Asep menjelaskan, agar pengeluaran terlihat wajar, terjadi pengaturan
penggunaan vendor atas nama PT AW dengan menggunakan nama dua orang office boy
(OB), yakni EP dan FH. Keduanya dibuatkan dokumen purchase order beserta
tagihan fiktifnya dan validasi atas dokumen pembayaran tersebut.
"Setelah dana dibayarkan kepada masing-masing vendor fiktif, DM dan HNN
menerima dana pencairan dari vendor fiktif tersebut, melalui stafnya dalam
bentuk valas," ungkap Asep.
Asep juga menerangkan, selain menggunakan vendor fiktif atas nama korporasi dan
perseorangan, ada juga vendor fiktif lainnya pada beberapa proyek pekerjaan
lain atas nama KYD selaku driver, APR selaku office boy, dan KUR selaku staf
keuangan Divisi EPC. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 10,8 miliar.
"Perbuatan melawan hukum dengan modus penggunaan vendor fiktif ini,
kembali dilakukan DM dan HNN secara berulang kali. Dalam kurun Juni 2022 sampai
dengan Maret 2023, terdapat 9 proyek fiktif dengan total mencapai Rp 46,8
miliar, yang dikerjakan oleh Divisi EPC," terang Asep.
Adapun proyek fiktif yang dilakukan keduanya meliputi pembangunan pabrik
peleburan (Smelter) nikel di Kolaka senilai Rp 25,3 miliar, pembangunan Mines
of Bahodopi Block 2 dan 3 di Morowali senilai Rp 10,8 miliar, pembangunan
Sulut-1 Coal Fired Steam Power Plant di Manado senilai Rp 4 miliar, PSPP
Portsite di Timika Papua senilai Rp 1,6 miliar, mobile Power Plant (MPP) Paket
7 di Nabire, Ternate, Bontang, dan Labuan Bajo senilai Rp 607 juta.
Lalu ada juga proyek Mobile Power Plant (MPP) Paket 8 di Jayapura dan
Kendari senilai Rp 986 juta, PLTMG Bangkanai di Kalimantan Tengah senilai Rp 2
miliar, Manyar Power Line di Gresik, Jawa Timur senilai Rp 1 miliar, serta
Divisi EPC senilai Rp 504 juta.
Asep menyebut dari nilai proyek Mines of Bahodopi Block 2 dan 3, DM
berinisiatif mengalirkan uang tersebut untuk tambahan pembayaran Tunjangan Hari
Raya (THR) dan Tunjangan Variabel (TVAR). THR dan TVHR diberikan masing kepada
KUR sebesar Rp7,5 miliar dan APR sebesar Rp3,3 miliar.
"Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara setidaknya
senilai kurang lebih Rp 46,8 miliar, akibat adanya pengeluaran dari kas
perusahaan untuk pembayaran vendor fiktif yang tidak menghasilkan manfaat apa
pun bagi perusahaan," tutur Asep.
Kedua tersangka pun disangkakan dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1)
KUHP.
sumber: detik
0 komentar :
Posting Komentar