WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Menguak Politik Identitas Anies Baswedan: Analisis Pernyataan ‘Bacapres Paling Miskin’ Melalui Perspektif Critical Discourse Analisis

Oleh: Velayeti Nurfitriana Ansas

Anies Baswedan / Foto : Kaltimtoday

JURNAL MEDIA Indonesia - Panggung politik 2024 kini menjadi titik fokus utama perjalanan demokrasi Indonesia. Semua mata masyarakat tertuju kepada sosok yang digadangkan menjadi Presiden selanjutnya. Dalam masa penantian pendaftaran bakal calon presiden 2024, telah muncul beberapa sosok yang diusung oleh berbagai partai untuk menjadi calon kandidat kuat.

Salah satu kandidat Capres yaitu Anies Baswedan yang diusung oleh NaDem, PKS, PKM dan Partai Ummat. Anies Baswedan merupakan bakal calon pertama yang naik ke panggung politik 2024, setelah Nasdem secara resmi mendeklarasikan mendukung Anies pada 3 Oktober 2022 (Kompas.com, 2022). Salah satu pertanyaan sentral yang muncul adalah, siapakah bakal calon presiden yang memiliki elektabilitas untuk menjadi Presiden Indonesia berikutnya?

Ketiga bakal calon presiden sudah mulai mensosialisasikan dirinya kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan, aktif pada media social juga berkolaborasi dengan para influenser. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa media social digunakan oleh para aktor politik sebagai wadah untuk menjalin hubungan dengan konstituen, membentuk diskusi politik dan berdialog secara langsung dengan masyarakat (Anshari, 2013). Personal branding yang dilakukan politisi ini akan membentuk persepsi masyarakat akan dirinya dan memudahkan mereka menyampaikan komunikasi politis dengan lebih dekat dan tepat sasaran (Rahmah, 2021).

Membangun citra atau personal branding ini bertujuan untuk membangun politik identitas yang sesuai dengan masyarakat. Identitas menurut Castells (2010) merupakan sumber makna diri yang muncul atau diberikan oleh seseorang terhadap dirinya atau dari sekelompok orang terhadap kelompok mereka yang dibangun melalui proses individuasi. Pembentukan identitas ini dilakukan secara terus menerus dalam interaksi social hingga memunculkan  opini tertentu (Buchari, 2014). Oleh karena itu, politik identitas mengacu pada mekanisme politik dalam pengorganisasian identitas sebagai sumber daya dan sarana politik (Lestari, 2019).

Salah satu cara membentuk politik identitas adalah diskusi terbuka dengan masyarakat. Baru-baru ini Najwa Sihab melalui kanal Youtubenya berkolaborasi dengan UGM menghadirkan ketiga bacapres dalam panggung diskusi dengan tema “Bicara Gagasan”. Salah satu yang menjadi sorotan adalah diskusi antara Najwa dengan Anies Baswedan yang memunculkan pernyataan “Anies Baswedan merupakan bacapres termiskin”. Pernyataan tersebut akan dianalisis menggunakan transitivity dan juga menguak politis identitas Anies menggunakan CDA Fairclough (2003).

Hal menarik terjadi saat diskusi antara Anies Baswedan dan Najwa Shihab, 21 September 2023 lalu pada kanal Youtube Najwa Shihab. Dalam diskusinya, Anies beberapakali menegaskan bahwa beliau merupakan bacapres paling miskin di antara yang lainnya. Pertanyaan yang muncul, politik identitas apa yang ingin dimunculkan Anies melalui pernyataan ini?

Van Dijk (2003) menjelaskan bahwa sebuah fenomena dapat dideskripsikan melalui penggunaan berbagai gaya konstruksi kalimat dengan berfungsi pada keterlibatan actor yang mendasarinya. Merujuk pada Halliday (1994) yang menjelaskan bahwa transitivity merupakan struktur semantic kalimat yang terdiri dari the processes, participants, and circumstances. Melalui CDA ini dapat diidentifikasi peran actor dan proses dalam struktur kalimat yang diucapkan Anies dalam diskusinya, untuk memahami bagaimana power, tindakan dan relasi social yang direpresentasikan dalam kalimat tersebut.

Hal pertama yang disoroti Najwa adalah LKHPN Anies, di mana Anies memiliki kekayaan yang paling sedikit dari kandidat lainnya. Tanggapan Anies terhadap pernyataan tersebut adalah

“… saya yang asetnya paling kecil, saya menjadi calon presiden, tidak pernah mendaftar, tidak pernah mengajukan diri, Saya diajukan oleh Partai Nasdem pertama kali …”

Proses : kalimat di atas mengandung beberapa proses yang menggambarkan situasi, seperti “menjadi (become)” dan “mendaftar (register)”

Aktor: actor pada kalimat di atas adalah “saya (I)”. Aktor ini menunjukkan diri penutur yang berbicara terkait dirinya.

Relasi power dalam kalimat di atas terkait dengan Anies  yang menggambarkan dirinya sebagai kandidat yang tidak secara aktif mencalonkan diri menjadi presiden tetapi “menjadi” presiden karena dukungan dari pihak lain.

“Saya yang asetnya paling kecil…”. Dalam kalimat tersebut tidak ada proses yang terjadi secara eksplisit, tetapi menggambarkan kondisi seseorang.

Aktor dalam kalimat itu adalah “saya (Anies)”.

Power relation dalam kalimat tersebut mencerminkan bahwa Anies merupakan calon presiden yang memiliki aset paling kecil dari kandidat lainnya.

Saat Najwa bertanya terkait rencana Anies dalam mengumpulkan uang untuk kebutuhan kampanye, Anies menjawab, “Kita tidak berencana mengumpulkan uang kepada kami. ... Semua melakukan fund racing di tempatnya masing-masing. Bukan kami mengumpulkan dana, mereka mengumpulkan mereka bekerja”.

Dalam pernyataan tersebut setidaknya terdapat beberapa proses, yaitu 

1. Proses pertama: "Kita tidak berencana mengumpulkan uang kepada kami."

Aktor : “Kita (Anies dan Relawan)”

Power relation dalam kalimat ini menegaskan bahwa mereka tidak memiliki niat untuk mengumpulkan dana untuk mereka sendiri. Dapat diinterpretasikan bahwa Anies ingin menggambarkan dirinya sebagai figure yang tidak memanfaatkan posisinya untuk keuntungan dia pribadi.

2. Proses kedua : “Semua melakukan fund racing di tempatnya masing-masing.”

Actor: “Semua (relawan dan pendukung)”

Power relation: kalimat tersebut menunjukkan bahwa para relawan dan pendukung Anies secara aktif melakukan fund racing ditempat mereka masing-masing. Kalimat tersebut diinterpretasikan sebagai kandidat yang mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat dan mencerminkan bahwa Beliau merupakan kandidat yang berbasis masyarakat.

3. Proses ketiga: “Mereka mengumpulkan. Mereka bekerja”

Actor “mereka (relawan dan pendukung Anies)”

Power relation: kalimat ini menyoroti bahwa relawan dan pendukung secara aktif mengumpulkan dana sendiri dan bekerja keras untuk membantu kampanye. Ini menciptakan citra Anies sebagai kandidat yang dapat menginspirasi partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik.

Berdasarkan kalimat-kalimat yang diucapkan Anies Baswedan, terdapat beberapa hal yang membangun politik identitas Anies Baswedan yaitu sebagai berikut:

1. Peran Politik

Anies Baswedan menyatakan bahwa dia menjadi calon presiden tanpa pernah mengajukan diri dan dia diajukan oleh beberapa partai, termasuk Partai Nasdem, PKS, Demokrat, dan PKB. Ini menunjukkan identitas politiknya sebagai seorang kandidat yang didukung oleh berbagai partai politik.

    2. Peran Relawan

Dalam diskusinya, Anies menyoroti “peran relawan dalam kampanyenya”. Ia menyebutkan lebih dari 600 relawan yang mendukung dan melakukan “fund racing” di tempat masing-masing. Melalui hal ini, Anies ingin menunjukkan identitasnya sebagai kandidat yang berbasis masyarakat dan berkomitmen untuk berkolaborasi dengan relawan untuk mendukung kampanyenya.

    3. Kekayaan Probadi

Anies Baswedan membahas bahwa semua biaya kampanyenya merupakan bantuan dari para relawan. Dalam hal ini Anies ingin menciptakan citranya sebagai masyarakat biasa yang dipercaya oleh masyarakat. Anies menegaskan bahwa relawannya merupakan  pengusaha kalangan menengah ke bawah. Dapa diinterpretasikan bahwa Politik identitas Anies adalah kandidat yang maju Bersama rakyat kecil

Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa politik identitas Anies Baswedan digambarkan sebagai kandidat yang merakyat, dipilih oleh rakyat dan bersama rakyat menyukseskan pemilihan presiden pada pemilu 2024 mendatang.

Referensi:

Anshari, F. (2013). Komunikasi politik di era media sosial. Jurnal komunikasi8(1), 91-101.

Buchari, S. A. (2014). Kebangkitan etnis menuju politik identitas. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Castells, M. (2011). The power of identity. John Wiley & Sons.

Halliday, F. (1994). Rethinking international relations. Bloomsbury Publishing.

Rahmah, S. (2021). Personal Branding Ganjar Pranowo untuk Membangun Komunikasi Politik di Media Sosial Instagram. Jurnal Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi5(1), 94-101.

Van Dijk, J., & Hacker, K. (2003). The digital divide as a complex and dynamic phenomenon. The information society, 19(4), 315-326.

 

Penulis :  Velayeti Nurfitriana Ansas

Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

Berita Terkini

Prof H Amran Suadi Optimis Kaspudin Nor Lolos Menjadi Dewas KPK

JAKARTA, JMI – Sebanyak 146 calon Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dinyatakan lolos pada seleksi admi...